Mukaddimah
Berita (khabar) yang dapat diterima
bila ditinjau dari sisi perbedaan tingkatannya terbagi kepada dua klasifikasi
pokok, yaitu Shahîh dan Hasan. Masing-masing dari keduanya terbagi kepada dua
klasifikasi lagi, yaitu Li Dzâtihi dan Li Ghairihi. Dengan demikian,
klasifikasi berita yang diterima ini menjadi 4 bagian, yaitu:
- Shahîh Li Dzâtihi (Shahih secara independen)
- Hasan Li Dzâtihi (Hasan secara independen)
- Shahîh Li Ghairihi (Shahih karena yang lainnya/riwayat pendukung)
- Hasan Li Ghairihi (Hasan karena yang lainnya/riwayat pendukung)
Dalam kajian kali ini, kita akan
membahas seputar bagian pertama di atas, yaitu Shahîh Li Dzâtihi (Shahih secara
independen)
Definisi Shahîh
Secara bahasa (etimologi), kata
ﺢﻴﺤﺼﻟﺍ (sehat) adalah antonim dari kata ﻢﻴﻘﺴﻟﺍ (sakit). Bila diungkapkan
terhadap badan, maka memiliki makna yang sebenarnya (haqiqi) tetapi bila
diungkapkan di dalam hadits dan pengertian-pengertian lainnya, maka maknanya
hanya bersifat kiasan (majaz).
Secara istilah (terminologi), maknanya adalah:
Hadits yang bersambung sanad (jalur transmisi) nya melalui periwayatan seorang periwayat yang ‘adil, Dlâbith, dari periwayat semisalnya hingga ke akhirnya (akhir jalur transmisi), dengan tanpa adanya syudzûdz (kejanggalan) dan juga tanpa ‘illat (penyakit)
Secara istilah (terminologi), maknanya adalah:
Hadits yang bersambung sanad (jalur transmisi) nya melalui periwayatan seorang periwayat yang ‘adil, Dlâbith, dari periwayat semisalnya hingga ke akhirnya (akhir jalur transmisi), dengan tanpa adanya syudzûdz (kejanggalan) dan juga tanpa ‘illat (penyakit)
Penjelasan Definisi
- Sanad bersambung : Bahwa setiap
rangkaian dari para periwayatnya telah mengambil periwayatan itu secara
langsung dari periwayat di atasnya (sebelumnya) dari permulaan sanad hingga
akhirnya.
- Periwayat Yang ‘Adil : Bahwa
setiap rangkaian dari para periwayatnya memiliki kriteria seorang Muslim,
baligh, berakal, tidak fasiq dan juga tidak cacat maruah (harga diri)nya.
- Periwayat Yang Dlâbith : Bahwa
setiap rangkaian dari para periwayatnya adalah orang-orang yang hafalannya
mantap/kuat (bukan pelupa), baik mantap hafalan di kepala ataupun mantap di
dalam tulisan (kitab)
- Tanpa Syudzûdz : Bahwa hadits yang
diriwayatkan itu bukan hadits kategori Syâdz (hadits yang diriwayatkan seorang
Tsiqah bertentangan dengan riwayat orang yang lebih Tsiqah darinya)
- Tanpa ‘illat : Bahwa hadits yang
diriwayatkan itu bukan hadits kategori Ma’lûl (yang ada ‘illatnya). Makna
‘Illat adalah suatu sebab yang tidak jelas/samar, tersembunyi yang mencoreng
keshahihan suatu hadits sekalipun secara lahirnya kelihatan terhindar darinya.
Syarat-Syaratnya
Melalui definisi di atas dapat
diketahui bahwa syarat-syarat keshahihan yang wajib terpenuhi sehingga ia
menjadi hadits yang Shahîh ada lima:
Pertama, Sanadnya bersambung
Ke-dua, Para periwayatnya ‘Adil
Ke-tiga, Para periwayatnya Dlâbith
Ke-empat, Tidak terdapat ‘illat
Ke-lima, tidak terdapat Syudzûdz
Ke-dua, Para periwayatnya ‘Adil
Ke-tiga, Para periwayatnya Dlâbith
Ke-empat, Tidak terdapat ‘illat
Ke-lima, tidak terdapat Syudzûdz
Bilamana salah satu dari lima syarat
tersebut tidak terpenuhi, maka suatu hadits tidak dinamakan dengan hadits
Shahîh.
Contohnya
Untuk lebih mendekatkan kepada
pemahaman definisi hadits Shahîh, ada baiknya kami berikan sebuah contoh untuk
itu.
Yaitu, hadits yang dikeluarkan oleh Imam al-Bukhari di dalam kitabnya Shahîh al-Bukhâriy, dia berkata: (‘Abdullah bin Yusuf menceritakan kepada kami, dia berkata, Malik memberitakan kepada kami, dari Ibn Syihab, dari Muhammad bin Jubair bin Muth’im, dari ayahnya, dia berkata, aku telah mendengar Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi Wa Sallam telah membaca surat ath-Thûr pada shalat Maghrib)
Yaitu, hadits yang dikeluarkan oleh Imam al-Bukhari di dalam kitabnya Shahîh al-Bukhâriy, dia berkata: (‘Abdullah bin Yusuf menceritakan kepada kami, dia berkata, Malik memberitakan kepada kami, dari Ibn Syihab, dari Muhammad bin Jubair bin Muth’im, dari ayahnya, dia berkata, aku telah mendengar Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi Wa Sallam telah membaca surat ath-Thûr pada shalat Maghrib)
Hadits ini dinilai Shahîh karena:
- Sanadnya bersambung, sebab masing-masing dari rangkaian para periwayatnya mendengar dari syaikhnya. Sedangkan penggunaan lafazh ﻦﻋ (dari) oleh Malik, Ibn Syihab dan Ibn Jubair termasuk mengindikasikan ketersambungannya karena mereka itu bukan periwayat-periwayat yang digolongkan sebagai Mudallis (periwayat yang suka mengaburkan riwayat).
- Para periwayatnya dikenal sebagai orang-orang yang ‘Adil dan Dlâbith. Berikut data-data tentang sifat mereka itu sebagaimana yang dinyatakan oleh ulama al-Jarh wa at-Ta’dîl : ‘Abdullah bin Yusuf : Tsiqah Mutqin. Malik bin Anas : Imâm Hâfizh. Ibn Syihab : Faqîh, Hâfizh disepakati keagungan dan ketekunan mereka berdua. Muhammad bin Jubair : Tsiqah. Jubair bin Muth’im : Seorang shahabat
- Tidak terdapatnya kejanggalan (Syudzûdz) sebab tidak ada riwayat yang lebih kuat darinya.
- Tidak terdapatnya ‘Illat apapun.
Hukumnya
Wajib mengamalkannya menurut
kesepakatan (ijma’) ulama Hadits dan para ulama Ushul Fiqih serta Fuqaha yang
memiliki kapabilitas untuk itu. Dengan demikian, ia dapat dijadikan hujjah
syari’at yang tidak boleh diberikan kesempatan bagi seorang Muslim untuk tidak
mengamalkannya.
Makna Ungkapan Ulama Hadits “Hadits
ini Shahîh” “Hadits ini tidak Shahîh”
- Yang dimaksud dengan ucapan mereka “Hadits ini Shahîh” adalah bahwa lima syarat keshahihan di atas telah terealisasi padanya, tetapi dalam waktu yang sama, tidak berarti pemastian keshahihannya pula sebab bisa jadi seorang periwayat yang Tsiqah keliru atau lupa.
- Yang dimaksud dengan ucapan mereka “Hadits ini tidak Shahîh” adalah bahwa semua syarat yang lima tersebut ataupun sebagiannya belum terealisasi padanya, namun dalam waktu yang sama bukan berarti ia berita bohong sebab bisa saja seorang periwayat yang banyak kekeliruan bertindak benar.
Apakah Ada Sanad Yang Dipastikan
Merupakan Sanad Yang Paling Shahih Secara Mutlak?
Pendapat yang terpilih, bahwa tidak
dapat dipastikan sanad tertentu dinyatakan secara mutlak sebagai sanad yang
paling shahih sebab perbedaan tingkatan keshahihan itu didasarkan pada
terpenuhinya syarat-syarat keshahihan, sementara sangat jarang terelasisasinya
kualitas paling tinggi di dalam seluruh syarat-syarat keshahihan. Oleh karena
itu, lebih baik menahan diri dari menyatakan bahwa sanad tertentu merupakan
sanad yang paling shahih secara mutlak. Sekalipun demikian, sebagian ulama
telah meriwayatkan pernyataan pada sanad-sanad yang dianggap paling shahih,
padahal sebenarnya, masing-masing imam menguatkan pendapat yang menurutnya
lebih kuat.
Diantara pernyataan-pernyataan itu
menyatakan bahwa riwayat-riwayat yang paling shahih adalah:
- Riwayat az-Zuhriy dari Salim dari ayahnya (‘Abdulah bin ‘Umar ; ini adalah pernyataan yang dinukil dari Ishaq bin Rahawaih dan Imam Ahmad.
- Riwayat Ibn Sirin dari ‘Ubaidah dari ‘Aliy (bin Abi Thalib) ; ini adalah pernyataan yang dinukil dari Ibn al-Madiniy dan al-Fallas.
- Riwayat al-A’masy dari Ibrahim dari ‘Alqamah dari ‘Abdullah (bin Mas’ud) ; ini adalah pernyataan yang dinukil dari Yahya bin Ma’in.
- Riwayat az-Zuhriy dari ‘Aliy dari al-Husain dari ayahnya dari ‘Aliy ; ini adalah pernyataan yang dinukil dari Abu Bakar bin Abi Syaibah.
- Riwayat Malik dari Nafi’ dari Ibn ‘Umar ; ini adalah pernyataan yang dinukil dari Imam al-Bukhariy.
Kitab Yang Pertama Kali Ditulis Dan
Hanya Memuat Hadits Shahih Saja
Kitab pertama yang hanya memuat
hadits shahih saja adalah kitab Shahîh al-Bukhâriy, kemudian Shahîh Muslim.
Keduanya adalah kitab yang paling shahih setelah al-Qur’an. Umat Islam telah
bersepakat (ijma’) untuk menerima keduanya.
Mana Yang Paling Shahih Diantara
Keduanya?
Yang paling shahih diantara keduanya
adalah Shahîh al-Bukhâriy, disamping ia paling banyak faidahnya. Hal ini
dikarenakan hadits-hadist yang diriwayatkan al-Bukhariy paling tersambung
sanadnya dan paling Tsiqah para periwayatnya. Juga, karena di dalamnya terdapat
intisari-intisari fiqih dan untaian-utaian bijak yang tidak terdapat pada kitab
Shahîh Muslim.
Tinjauan ini bersifat kolektif,
sebab terkadang di dalam sebagian hadits-hadits yang diriwayatkan Imam Muslim
lebih kuat daripada sebagian hadits-hadits al-Bukhariy.
Sekalipun demikian, ada juga para
ulama yang menyatakan bahwa Shahîh Muslim lebih shahih, namun pendapat yang
benar adalah pendapat pertama, yaitu Shahîh al-Bukhâriy lebih shahih.
Apakah Keduanya Mencantumkan Semua
Hadits Shahih Dan Komitmen Terhadap Hal itu?
Imam al-Bukhariy dan Imam Muslim
tidak mencantumkan semua hadits ke dalam kitab Shahîh mereka ataupun
berkomitmen untuk itu. Hal ini tampak dari pengakuana mereka sendiri, seperti
apa yang dikatakan Imam Muslim, “Tidak semua yang menurut saya shahih saya muat
di sini, yang saya muat hanyalah yang disepakati atasnya.”
Apakah Hanya Sedikit Hadits Shahih
Lainnya Yang Tidak Sempat Mereka Berdua Muat?
Ada ulama yang mengatakan bahwa
hanya sedikit saja yang tidak dimuat mereka dari hadits-hadits shahih lainnya.
Namun pendapat yang benar adalah bahwa banyak hadits-hadits shahih lainnya yang
terlewati oleh mereka berdua. Imam al-Bukhariy sendiri mengakui hal itu ketika
berkata, “Hadits-hadits shahih lainnya yang aku tinggalkan lebih banyak.”
Dia juga mengatakan, “Aku hafal
sebanyak seratus ribu hadits shahih dan dua ratus ribu hadits yang tidak
shahih.”
Berapa Jumlah Hadits Yang Dimuat Di
Dalam Kitab ash-Shahîhain?
- Di dalam Shahîh al-Bukhariy terdapat 7275 hadits termasuk yang diulang, sedangkan jumlahnya tanpa diulang sebanyak 4000 hadits.
- Di dalam Shahîh Muslim terdapat 12.000 hadits termasuk yang diulang, sedangkan jumlahnya tanpa diulang sebanyak lebih kurang 4000 hadits juga.
Dimana Kita Mendapatkan
Hadits-Hadits Shahih Lainnya Selain Yang Tidak Tercantum Di Dalam Kitab
ash-Shahîhain?
Kita bisa mendapatkannya di dalam
kitab-kitab terpercaya yang masyhur seperti Shahîh Ibn Khuzaimah, Shahîh Ibn
Hibbân, Mustadrak al-Hâkim, Empat Kitab Sunan, Sunan ad-Dâruquthniy, Sunan
al-Baihaqiy, dan lain-lain.
Hanya dengan keberadaan hadits pada kitab-kitab tersebut tidak cukup, tetapi harus ada pernyataan atas keshahihannya kecuali kitab-kitab yang memang mensyaratkan hanya mengeluarkan hadits yang shahih, seperti Shahîh Ibn Khuzaimah.
Hanya dengan keberadaan hadits pada kitab-kitab tersebut tidak cukup, tetapi harus ada pernyataan atas keshahihannya kecuali kitab-kitab yang memang mensyaratkan hanya mengeluarkan hadits yang shahih, seperti Shahîh Ibn Khuzaimah.
Apakah Agar Dinilai Shahih, Hadits
Tersebut Harus Merupakan Hadits ‘Azîz ?
Hadits ‘Aziz adalah
hadits yang diriwayatkan pada setiap level periwayatannya (thabaqat sanad)
tidak kurang dari dua orang periwayat. Dalam hal ini, apakah agar suatu hadits
dinyatakan shahih, maka syaratnya harus paling tidak diriwayatkan oleh tidak
kurang dari dua periwayat pada setiap level periwayatannya?.
Pendapat yang benar,
bahwa hal itu tidak disyaratkan sebab di dalam kedua kitab shahih
(ash-Shahîhain) dan selain keduanya juga terdapat hadits-hadits shahih padahal
ia bukan hadits ‘Aziz itu, tetapi malah hadits Gharîb (yang diriwayatkan pada
oleh seorang periwayat saja).
Ada sementara kalangan
ulama seperti ‘Ali al-Jubaiy, tokoh mu’tazilah dan al-Hâkim yang mengklaim hal
itu namun pendapat mereka ini bertentangan dengan kesepakatan umat Islam.
No comments:
Post a Comment